“Eh, lu dah selese ngerjain tugas
makalah yang disuruh dosen kemaren blom? Gua masih bingung nih tugasnya gimana,
bisa kasi tau ga?” “ah SELO.. paling dosennya juga lupa sama nih tugas. Lagian
lo kuliah serius amat kayak maen catur.”
Begitulah kira-kira pembicaraan
singkat yang sudah sangat sering kita dengar di sekitar kita bahkan diri kita
sendiri sering mengucapkan kata sakti satu ini, SELO. Sebenarnya boleh saja
kita tidak terlalu memikirkan suatu masalah yang biasa kita hadapi. Tapi
belakangan saya perhatikan, kata SELO udah kayak jomblo, bertebaran di
mana-mana. Seolah ini seperti menjadi budaya baru yang ada di Indonesia. Kata
ini juga suka dipakai oleh sebagian orang untuk menunjukkan betapa masalah
gausah dibuat ribet, toh nanti ada jalannya dan terus terselesaikan, kira-kira
begitulah kata si jomblo tadi. Oke, mari kita telaah sedikit lebih jauh apa
efek yang terjadi pada kata satu ini.
Andaikata semua orang yang ada di
Indonesia menggunakan azas SELO ini (sebenarnya udah sih), bayangkan betapa
banyaknya hasil kerjaan yang mepet dan hasilnya ga maksimal. Negara ini kan
kompleks tuh, masalahnya juga aneh-aneh. Masalah yang ruwet itu apa bisa
diselesaiin dengan bilang, SELO lah toh nnti juga selese (selese mbahmu..). Kita
pasti marah-marah gak karuan sampai gigit kabel tv di rumah kita kalau ada
pejabat yang bilang gitu. Tapi coba kita perhatikan diri kita. Bukankah masa
depan akumulasi dari masa lalu dan masa kini? Kalo kita perhatikan orang
jepang, rasanya mungkin ga ada kata selo di kamus kehidupan mereka. Semua
seolah dianggap serius. Dan hasilnya? Ya negara mereka kaya. Terkadang
terlintas di benak saya, apakah kita yang ada di Indonesia ini terlalu bercanda
dengan kehidupan kita? Jujur saya katakan, saya juga adalah korban dari kata
ini. Hal ini seperti doktrin dari kebiasaan kita. Mindset saya pun mengalir
mengikuti kebiasaan-kebiasaan ini. Maka dari sekarang, saya mencoba untuk
sedikit lebih serius dalam menghadapi suatu masalah atau kerjaan. Duh sayang
sekali rasanya betapa banyak potensi yang lenyap hanya gara-gara kata ini.
Kata ini juga dipakai sebagian
pelajar sebagai pembelaan dirinya sendiri untuk menunda tugas atau pekerjaan
mereka. Belakangan saya berpikir, hidup bukan hanya sekedar hasil akhirnya,
tapi juga proses di dalamnya. Semua orang mungkin mengamini pernyataan itu
termasuk justin bieber dan tetangga saya. Mari kita ambil contoh kasus.
Si Otong dikasih tugas seminggu. Dia
terus bilang selo ketika temannya Bagong mengajaknya untuk mengerjakan tugas
bersama-sama. Naik pitam, si bagong berinisiatif mengerjakan tugas sendiri
dengan cara mengerjakan tugas waktu demi waktu. Sementara si Otong santai
bilang selo tak terasa sudah H-1 pengumpulan tugas. Dia bantai sehari semalam
mengebut kerjaannya. Di hari H, tugas dikumpulkan dan nilai yang didapat oleh
mereka berdua tidak berbeda jauh. Dengan santainya si Otong bilang “makanya selo
ajaa.. tuh selesaikan. Sama lagi nilai kita hehehe”. Sepintas mungkin si Otong
benar. Tapi tunggu dulu, si Bagong dengan mengerjakannya dengan serius dan
waktu demi waktu, dia jadi lebih memahami tugas dan materinya dibandingkan si
Otong. Dan ini akan menjadi modal si Bagong kedepannya. Sementara si Otong, dia
hanya mengerjakan tugas karena tuntutan dan nilai. Mungkin dia mendapat nilai
yang bagus. Tapi HANYA SEBATAS ITU SAJA. Dia akan terbiasa menganggap sepela
segala hal yang berimbas pada masa depannya. Bisa ditarik hikmahnya yaitu “hasil”
adalah yang bisa dipetik untuk sekarang, sementara “proses” untuk di masa yang
akan datang.
Dalam pemahaman agama saya, Islam,
juga ditegaskan untuk bersungguh-sungguh dalam melakukan pekerjaan, termasuk
ibadah dan pekerjaan lainnya yang positif. Dalil-dalil tentang hal ini banyak
sekali jika mau ditelaah. Alasan apalagi yang buat kita masih menggunakan
mindset SELO ini?
Oleh karena itu, dari sekarang kita
bersama-sama bisa mengubah mindset kita tentang SELO ini. Karena untuk
membangun INDONESIA menjadi NEGARA ADIDAYA, dibutuhkan orang-orang dengan
kualitas “BERSUNGGUH” bukan “SELO”. Jadi kan negara ini Republic of “bersungguh-sungguh”!!
Maaf jika ada yang tersinggung dengan
tulisan saya ini. Sungguh tulisan ini saya tujukan untuk diri saya sendiri
sebagai bahan koreksi. Tidak ada maksud untuk menyinggung siapapunJ